MAHKOTA IBLIS
Oleh:
Imron Rosyid Astawijaya, Lc
Point-point
pembahasan:
Pendahuluan
pengertian
mahkota iblis, hukum, bom dan bunuh diri.
factor
pemicu bom bunuh diri
hukum
membunuh muslim
hukum
bunuh diri
hukum
membunuh orang kafir mu'ahad dan dzimmiy
hukum
teror
hukum
memberontak terhadap pemerintah
Pendahuluan
Tingginya
semangat dan ghirah dalam beragama yang diiringi oleh rendahnya ilmu dan
pemahaman yang tidak sesuai dengan salafiyah ahlusunnah wal jama'ah akan
menimbulkan banyaknya kesalah pahaman dalam menyikapi metode, cara atau gaya
dalam beragama. Sehingga seseorang akan serampangan melakukan manufer-manufer
yang bernilai ibadah seolah-olah dianggap baik oleh akal[1] namun
tidak relevan dalam timbangan syari'at.
Diantara kesalah
pahaman yang timbul adalah kerancuan
dalam perihal hukum jihad. sehingga terlahir apa yang sering kita dengar dengan
adanya peledakan bom bunuh diri, kekerasan ataupun ekstrimisme yang
dinisbatkan kepada perjuangan Islam.
Hal yang demikian perlu ditanggapi guna menyingkap
pemahaman terhadap apa sebenarnya hakikat bom bunuh diri itu? apa saja
pemicunya? serta apa saja hukum yang terkait dalam syariat islam?
Oleh karena itu
penulis berusaha menguraikan secara singkat beberapa point yang penting dalam
pembahasan ini sebagai peranan untuk saling berbagi nasihat dan ilmu, dengan
mengharap Ridha Allah ﷻ agar bermanfaat
bagi kita sekalian.
Pengertian judul makalah "MAHKOTA
IBLIS"
(Hukum Terkait
Bom Bunuh Diri dan Teroris)
Mahkota Iblis adalah
mahkota yang dikenakan oleh iblis kepada serdadunya yang berhasil membuat seorang
muslim melakukan pembunuhan, hal itu dijelaskan dalam hadits:
عَنْ أَبي مُوسَى : عَنِ النَّبِي صلى اللهُ عليْهِ و سَلَّمَ قال :
إِذَا أَصْبَحَ إِبْلِيْسُ بَثَّ جُنُودُهُ فَيَقُولُ: مَنْ أَضَلَّ الْيَوْمَ مُسْلِمًا أَلْبَسْتُهُ
التَاجَ قَال: فَيَخْرُجُ هذا فيقول: لَم أَزَلْ به حتَّى طَلقَ اِمْرَأَتَه
: فيقول: أَوْشَكَ أَنْ يَتَزَوَّجَ
ويَجِيءُ هَذَا فيقول: لم أزل به حتى عَقَّ وَالدَيْه فيقول: أوشك أن يَبِرَّ ويجيء هذا فيقول: لم أزل به حتى أَشْرَكَ فيقول: أَنْت أَنْتَ ويجيء فيقول: لم أزل به حتى زَنَى فيقول: أنت أنت ويجيء هذا فيقول: لم أزل به حتى قَتَلَ فيقول: أَنْتَ أَنْتَ وَيُلْبِسُهُ
التَّاجَ.
(رواه ابن حبان 6189 باب بدء الوحي)
Artinya:
Saat pagi hari iblis menyebar para serdadunya
seraya berkata: "siapa saja yang pada hari ini menyesatkan seorang muslim
maka aku akan pakaikan mahkota padanya".
Keluarlah salah satu dari mereka dan berkata:
"aku tidak meninggalkannya (seorang muslim) sampai dia mencerai istrinya",
maka iblis berkata: "hampir saja dia hendak menikah"
datanglah yang lain dan berkata: "tidaklah
aku meninggalkannya kecuali sampai dia durhaka kepada kedua orang tuanya",
maka iblis berkata: "hampir saja dia hendak berbuat baik kepada
keduanya"
Dan datang yang lainnya seraya berkata: "aku
tidak tinggalkan dia kecuali sampai dia berbuat syirik", maka iblis
berkata: "kamu! Kamu!" (yaitu yang mendapatkan mahkotanya
kemudian datang yang lain dan berkata: "tidaklah
aku tinggalkan dia kecuali sampai dia berzina", maka iblis berkata: "kamu!
kamu!" (yaitu yang mendapatkan mahkotanya)
dan datang yang lain seraya berkata: "aku
tidak pergi darinya kecuali sampai dia membunuh", maka iblis berkata: "kamu!
Kamu!" Dan iblispun memakaikannya mahkota kepadanya.
(riwayat Ibnu Hibban no. 6189 bab dimulainya
wahyu)
Sementara definisi "hukum bom bunuh diri"
adalah sebagai berikut:
Hukum
Pengertian
hukum secara bahasa
Kata
"hukum" berasal dari bahasa arab (حَكَمَ – يَحْكُمُ - حُكْمٌ) yang secara bahasa bermakna قضى
yaitu memutuskan atau menetapkan sesuatu[2].
Seperti pada firman Allah ﷻ:
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ
إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا (58)
Artinya:
Dan
apabila kalian menetapkan (hukum) di antara manusia supaya kalian menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada
kalian. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat.
(al-Nisa':58)
Hukum
juga bisa bermakna مَنَعَ yaitu mencegah atau menghalangi[3].
Makna ini bisa kita
dapati dalam sebuah ungkapan arab;
حكمت عليه بكذا إذا منعته من خلافه فلم يقدر على الخروج من ذلك
Artinya:
aku menghukumnya dengan sesuatu, jika
aku mencegah dia untuk menyelisihi dan dia tidak mampu keluar dari hal
tersebut[4].
Dari sini jugalah kenapa aturan Allah ﷻ dinamakan sebagai
hukum, karena aturan tersebut mencegah seseorang untuk keluar atau
menyelisihinya.
Makna lain dari hukum
juga diungkapkan oleh Imam Ibnu Katsir –rahimahullah- dengan pengertian الأمرُ الشرعي
yaitu perintah syari'at[5], makna
inilah yang lebih sering kita dapati didalam Al-Qur'an, seperti firman Allah ﷻ:
ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ (10)
Artinya:
Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di
antara kalian. dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Al-Mumtahanah:10)
Sehingga dari sinilah seluruh perintah-perintah
syari'at digolongkan kedalam bagian dari pengertian hukum.
Sebagian ulama bahasa juga memaknakan hukum dengan
العلم والفقه والفهم
yaitu ilmu, fiqih dan pemahaman[6]. Makna
ini kita dapati seperti dalam firman Allah :ﷻ
يَا يَحْيَى خُذِ الْكِتَابَ بِقُوَّةٍ وَآتَيْنَاهُ الْحُكْمَ صَبِيًّا (12)
Artinya:
Wahai Yahya, ambillah Al-Kitab (Taurat) itu dengan
sungguh-sungguh. dan Kami berikan kepadanya hikmah (hukum) kala masih
kanak-kanak. (Maryam:12)
Ibnu Katsir -rahimahullah- menafsirkan kata
hukum disini dengan ilmu, pemahaman dan kesungguhan[7]. Dalam
ayat ini juga Asy-Syaukaniy berkata:
المراد بالحكم: الحكمة، وهي الفهم للكتاب الذي أمر بأخذه وفهم الأحكام الدينية. وقيل: هي العلم وحفظه والعمل به وقيل : النبوّة وقيل: العقل
Artinya:
Yang dimaksud dengan hukum disini adalah
hikmah, yaitu pemahaman terhadap kitab yang telah diperintahkan untuk diamalkan
dan pemahaman terhadap hukum-hukum agama. Dimaknakan juga sebagai ilmu,
menghafalnya dan mengamalkannya. Dikatakan juga bahwa makna hukum disini adalah
kenabian. Dan dikatakan juga dengan makna akal[8].
Pengertian hukum secara istilah
Adapun
secara istilah ada perbedaan pendapat diantara para ulama seputar makna hukum.
Diantara mereka memisahkan antara istilah fiqih dan istilah usul fiqih.
Sehingga makna hukum secara istilah memiliki makna yang beragam sesuai sudut
pandang kedisiplinan tiap ilmu.
Pengertian hukum menurut istilah ilmu ushul
fiqih yang masyhur, misalnya:
خطاب الله تعالى المتعلق بأفعال المكلفين بالاقتضاء أو التخيير أو الوضع
Artinya:
Khitab Allah yang berhubungan dengan
perbuatan seorang mukallaf baik yang berkonsekwensi perintah, larangan ataupun
wad'u[9].
Diantara ulama
yang mendefinisikannya adalah Imam al-Ghazaliy[10] dan
Al-Amidiy[11].
Pengertian ini dipilih oleh Ibnu Hajar[12] akan
tetapi dengan tidak memisahkan antara istilah fiqih dan istilah usulfiqih.
al-Thufiy
mendefinisikan hukum menurut istilah ilmu fiqih sebagai berikut:
الْحُكْمُ مُقْتَضَى خِطَابِ الشَّرْعِ
Artinya:
Khitab syar'i seperti Al-Qur'an dan hadits
terkadang berkonsekwensi perintah atau larangan, dan terkadang mengandung suatu
hal yang menjadi sebab, syarat atau penghalang hukum. Dari sini kita akan
mengetahui hukum (sesuai istilah fiqih) yang terlahir. Dalam firman Allah ﷻ misalnya:
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَى
Artinya:
Janganlah kalian dekati zina! (Al-Isra':32)
Khitab ayat tersebut menunjukkan sebuah
larangan terhadap zina, sehingga
berkonsekwensi keharaman apa yang
dilarangnya yaitu zina, maka hukum berzina adalah haram[14].
Ungkapan kata hukum disini adalah hukum menurut istilah ulama fiqih. Seperti
hukum shalat lima waktu adalah wajib, hukum puasa ramadhan adalah wajib, hukum
durhaka kepada orang tua adalah haram dan lain sebagainya.
Dan makna hukum yang sesuai dengan istilah
inilah yang akan dipakai pada pembahasan makalah kita kali ini.
Bom
Bom adalah senjata peledak yang bentuknya
seperti peluru besar yang berisi bahan peledak, jenisnya pun bermacam-macam.
Ada bom atom, nuklir, pembakar, hidrogen, bom tarik dan sebagainya. Namun yang
akan kita bahas disini adalah motif atau cara peledakannya yaitu bom bunuh diri
yang merupakan serangan oleh satu orang atau lebih dengan meledakkan bom yang
dibawanya dengan harapan mati bersama korban
dengan jumlah yang besar[15].
Bunuh
Membunuh dalam bahasa arabnya adalah al-qatlu
القتل)) yang bermakna
mengeluarkan ruh[16]
(اِزْهاقُ الروحِ )
atau menghilangkan nyawa seseorang[17].
Diri
Sebagaimana kita
ketahui bahwa bunuh diri dalam bahasa arabnya adalah قَتْلُ النَّفْسِ , al-qatlu seperti yang sudah kita jelaskan
adalah menghilangkan nyawa atau membunuh, sementara makna al-nafsu secara
bahasa adalah ruh, jiwa atau dzat[18]. Allah ﷻ berfirman:
تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلَا أَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنْتَ عَلَّامُ الْغُيُوبِ (116)
Artinya:
Engkau mengetahui apa yang ada pada diri
(jiwaku) dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri (dzat) Engkau.
Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui perkara yang ghaib-ghaib. (Al-Maidah:116)
Allah ﷻ juga berfirman:
يَا أَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَئِنَّةُ (27) ارْجِعِي إِلَى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَرْضِيَّةً (28)
Artinya:
Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. (Al-Fajr:27-28)
Maksud jiwa disini adalah ruh yang hendak
dicabut oleh malaikat maut, makna ini diperkuat oleh hadits yang dikeluarkan
oleh imam Ahmad[19]
dalam musnadnya dari al-Barra' bin 'Azib tentang perjalan ruh sejak terpisah
dari jasad hingga kembali kealam kuburnya, dimana malaikat berkata:
"keluarlah wahai jiwa yang tenang!", maksudnya adalah ruh yang
tenang.
C. Faktor pemicu bom bunuh diri.
Faktor pemicu bom bunuh diri sangatlah beragam
antara lain Aqidah, Politik, Sosial dan Ekonomi. Namun kita akan batasi pada pengaruh
aqidah atau keyakinan yang menyimpang seperti Khawarij dan Syi'ah
sebagai faktor terbesar pemicu bom bunuh diri dan ekstrimisme lainnya.
Khawarij
adalah firqah yang pertama kali keluar dan
memberontak kepemimpinan kaum muslimin yaitu sejak masa khalifah Utsman, khalifah Ali –radiyallahu 'anhuma- dan
kepemimpinan lainnya hingga zaman kita sekarang ini. Imam Al-Syahrastaniy
–rahimahullah- berkata: "sungguh telah disepakati bersama bahwasanya siapa
saja yang menentang dan keluar ataupun memberontak pemerintah yang disetujui
kaum muslimin maka mereka dihukumi sebagai khawarij, baik hal itu terjadi pada
masa shahabat atau masa-masa sesudahnya hingga akhir zaman"[20].
Asas
aqidah mereka adalah mengkafirkan pelaku dosa besar dan menghukuminya kekal
didalam neraka. Dari sinilah terlahir kaidah bahwa siapa saja yang tidak
menerapkan hukum Allah ﷻ termasuk pelaku dosa besar dan menjadi
kafir, lebih dari itu maka darahnya halal untuk ditumpahkan dan hartanya halal
untuk dirampas. Persis dengan kejadian pendahulu mereka dalam pembunuhan
khalifah Utsman yang berakhir dengan penjarahan baitulmal[21].
Tak
heran kita dapati khawarij masa kini mengkafirkan negara yang tidak menerapakan
syari'at islam secara totalitas dalam undang-undangnya. Sebagaimana yang
paparkan oleh salah seorang Staf Ahli BNPT (Badan Nasional Penanggulangan
Teroris) ustadz Abdurahman Ayyub bahwa tokoh-tokoh gerakan takfiriy diIndonesia
mengkafirkan negara serta seluruh kaum muslimin didalamnya sebagai konsekwensi
sikap menerima atau dengan asas negara ini[22].
Syi'ah
adalah
firqah yang berawal dari para pengikut shahabat Ali –radiyallahu 'anhu- yang
guluw dan berkeyakinan bahwa imamah atau
kepemimpinan setelah Rasulullah ﷺ
hanyalah milik 'Ali –radiyallahu 'anhu-.
Mereka
berpendapat bahwa imamah merupakan pondasi agama yang berupa wasiat dan
hanyalah diperuntukan keturunan 'Ali –radiyallahu 'anhu-[23],
sehingga diantara mereka ada yang mengkafirkan Abu Bakar, Umar dan Utsman
–radiyallahu 'anhum-. Dan diantara rukun islam kelima versi syiah adalah al
wilayah (daerah dan kepemimpinan) yang kata mereka lebih utama dari pada
shalat, zakat, haji dan puasa[24].
Al wilayah ini berkonsekwensi bahwa seluruh negeri yang pemimpinnya bukan dari
mereka adalah kafir dan wajib diperangi.
Dengan
keyakinan pemahaman khawarij dan syia'h inilah seseorang akan menganggap bahwa
NKRI (Negara Kesatuan Repulik Indonesia) telah kafir dan termasuk dar al-harbi
atau negeri yang harus diperangi. Kalau sudah begitu maka timbullah puncak
syubhat mereka yaitu bolehnya memerangi dengan terang-terang ataupun melakukan
bunuh diri dalam jihad menyerang musuh secara diam-diam.
D.
Hukum-hukum terkait bom bunuh diri
Ada
beberapa hukum yang terkandung dalam kasus bom bunuh diri yang mengatasnamakan
jihad ini, diantaranya adalah:
Hukum
membunuh seorang muslim
Hukum
membunuh diri sendiri
Hukum
membunuh seorang kafir dzimmiy dan mu'ahad
Hukum
menteror
Hukum
memberontak pemerintahan yang sah
a.
Hukum membunuh seorang muslim
Membunuh
seorang muslim tanpa hak merupakan perkara yang sangat besar didalam islam,
Karena keselamatan jiwa seseorang adalah maqasid syariat kedua setelah agama.
Disini kita ketahui betapa mulianya nilai nyawa seorang muslim, sebagaimana
dalam hadits Rasulullah ﷺ:
عن عبد الله بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: لزوال الدنيا أهون عند الله من قتل رجل مسلم. (رواه النسائ والترمذي وابن ماجة)
Artinya:
Sungguh
lenyapnya dunia ini lebih ringan dibandingkan dengan terbunuhnya seorang muslim.
(Diriwayatkan oleh an-Nasai, al-Tirmidziy dan Ibnu Majah)
Sehingga
untuk mewujudkan tujuan tersebut Allah ﷻ
melarang dan mengancam keras siapa saja yang melakukannya. Allah ﷻ berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا (93)
Artinya:
Dan siapa saja yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka
balasannya ialah Neraka Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (al-Nisa':93)
Didalam ayat tersebut Allah ﷻ
mengancam pelaku pembunuhan dengan lima jenis adzab: Kekalan dineraka jahannam,
mendapat murka Allah ﷻ dan laknatNya dan adzab yang besar. Ayat
ini sebuah dalil bahwa membunuh seorang muslim tanpa hak termasuk dosa besar.
Bahkan Allah menempatkan dosa tersebut pada posisi kedua diantara dosa –dosa besar
lainnya setelah kesyirikan.
Sebagaimana
dalam firmanNya ﷻ:
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (68) يُضَاعَفْ لَهُ الْعَذَابُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَيَخْلُدْ فِيهِ مُهَانًا (69)
Artinya:
Dan
orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah ﷻ
kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. siapa saja yang
melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat dosa. Akan dilipat gandakan
adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam adzab itu, dalam
keadaan terhinakan. (Al-Furqan:68-69)
Dengan membawakan ayat ini al-Imam al-Dzahabiy[25]
–rahimahullah- meletakkan bab pembunuhan sebagai dosa besar yang kedua setelah
kesyirikan[26].
Bukan
hanya sekedar membunuh, lebih dari itu seseorang yang baru berusaha melakukuan
pembunuhanpun dihukumi neraka oleh syariat ini. Rasulullah ﷺ
menceritakan sebuah pertikaian antar dua muslim beliau bersabda:
إذا التقى المسلمان بسيفيهما فالقاتل والمقتول في النار. قيل يا رسول الله هذا القاتل فما بال المقتول؟ قال لأنه كان حريصا على قتل صاحبه. (رواه البخاري ومسلم)
Artinya:
Jika
dua orang muslim berjumpa dengan pedangnya untuk berkelahi maka pembunuh dan
yang dibunuh masuk neraka. Ada yang berkata: wahai Rasulullah, sipembunuh
berhak untuk itu namun apa urusannya dengan yang terbunuh? Rasulullah bersabda:
karena dia juga bertekad untuk membunuh lawannya tadi.
(Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)
b.
Hukum bunuh diri
Tidak ada alasan bagi seseorang untuk
mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, selain ini merupakan keputusasaan juga merupakan
buruk adab kepada Allah ﷻ yang perkara ini telah diabadikan dalam
firmanNya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا (29)
Artinya:
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama
suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah
Maha Penyayang kepadamu. (al-Nisa':29)
Al-Qurtubiy
berkata tentang ayat ini dalam tafsirnya: "Para mufassir telah sepakat
bahwa yang dimaksud membunuh disini adalah membunuh orang lain, kemudian
mencakup juga makna membunuh diri sendiri baik karena permasalahan putus asa
atau karena marah yang meluap"[27].
Pernah pada suatu peperangan yaitu perang
dzatu salasil[28], shahabat 'Amr bin al-'Ash melarang
shahabatnya yang terluka dengan ayat ini untuk mandi janabah yang saat itu air
sangatlah dingin, ini semua ditakutkan bisa membunuh dirinya atu tergolong
bunuh diri. Sampai kisah ini kepada Rasulullah dan beliau tersenyum tak
mengomentari menandakan persetujuan atau taqrir beliau ﷺ.
Sementara
Muhammad Ali al-Sayis dalam tafsir ahkamnya[29]
berpendapat makna larangan yang dimaksud adalah larangan seseorang membunuh
dirinya sendiri. Dan ini yang rajih menurut pemakalah sesuai dengan yang
dipahami oleh shahabat 'Amr –radiyallahu 'anhu- dalam mengamalkan ayat
tersebut. Juga diperkuat dengan banyaknya hadits-hadits yang berbicara tentang
hukum bunuh diri. Antara lain hadits Rasulullah ﷺ:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: من قتل نفسه بشيء في الدنيا عذب به يوم القيامة. (رواه البخاري)
Artinya:
Rasulullah bersabda: siapa saja yang bunuh diri didunia
dengan sesuatu (alat atau cara) maka diakhirat akan disiksa dengan alat
tersebut. (Riwayat al-Bukhari)
عن أبي هريرة رضي الله عنه, أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: من تردى من جبل فقتل نفسه فهو في نار جهنم يتردى فيه خالدا مخلدا فيها أبدا, ومن تحسى سما فقتل نفسه فسمه في يده يتحساه في نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا, ومن قتل نفسه بحديدة فحديدته في يده يجأ بها في بطنه في نار جهنم خالدا مخلدا فيها أبدا (رواه مسلم)
Artinya:
Dari Abu Hurairah –radiyallahu
'anhu-: bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:
siapa saja yang bunuh diri dengan menghempaskan tubuhnya dari bukit maka
dineraka dia akan dihempas-hempaskan selamanya kekal didalamnya, dan siapa saja
bunuh diri dengan meneguk racun maka dineraka racun itu agak tegukkan padanya
berulang-ulang selamanya kekal didalamnya, dan siapa saja yang bunuh diri
dengan besi maka dineraka besi ditangannya itu akan terus menikam perutnya
selamanya kekal didalamnya. (riwayat Muslim)
وعن أبي هريرة قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: الذي يخنق نفسه يخنقها في النار, والذي يطعنها يطعنها في النار. (رواه البخاري)
Artinya:
Dan dari Abu Hurairah beliau berkata:
Rasulullah ﷺbersabda: seseorang yang bunuh diri dengan
mencekik dirinya kelak dineraka dia akan mencekik dirinya, dan seseorang yang
bunuh diri dengan menikam kelak dineraka dia akan menikam dirinya sendiri. (riwayat al-Bukhariy)
Rasulullah ﷺ pun pernah bersabda:
كان برجل جراح فقتل نفسه, فقال الله: بدرني عبدي بنفسه, حرمت عليه الجنة. (رواه البخاري ومسلم)
Artinya:
Dahulu ada seorang yang terluka kemudian
bunuh diri, maka Allah ﷻ berfirman: hambaku telah
mendahuluiku akan jiwanya maka aku haramkan syurga untuk dia. (riwayat al-Bukhariy Muslim)
Telah
diriwayatkan pula oleh Ibnu Hibban dari Jabir bin Samurah bahwasanya ada
seseorang yang terluka lalu dia bunuh diri dengan menyembelih dirinya sendiri
dan maka Nabipun ﷺ tidak menshalatinya[30].
c. Hukum membunuh kafir dzimmiy dan mu'ahad
Membunuh kafir dzimmiy[31] dan
mu'ahad[32]
dilarang dalam islam dan hukum haram, dengannya syari'at memberikan ancaman
bagi pelakunya. Dari Nabi beliau ﷺ bersabda:
من قتل نفسا معاهدا لم يرح رائحة الجنة وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاما. (رواه البخاري)
Artinya:
Siapa saja yang membunuh kafir mu'ahad
maka dia tidak akan bisa mencium aroma syurga, sungguh aromanya itu bisa
dijumpai dalam jarak empat puluh tahun. (riwayat al-Bukhariy)
قال رسول الله صلى الله عليه و سلم من قتل قتيلا من أهل الذمة لم يجد ريح الجنة وإن ريحها ليوجد من مسيرة أربعين عاما. (رواه النسائ)
Artinya:
Rasulullah ﷺ
bersabda: siapa saj yang membunuh kafir dimmiy maka dia tidak akan mendapatkan
aroma syurga, dan sungguh aromanya dapat dijumpai dalam jarak empat puluh tahun
perjalanan. (riwayat al-Nasai)
Rasulullah ﷺ juga bersabda:
من قتل معاهدا في غير كنهه حرم الله عليه الجنة. (رواه أبو داود والنسائ)
Artinya:
Siapa saja yang membunuh kafir
mu'ahad tanpa hak maka Allah mengharamkan syurga untuknya. (riwayat Abu Dawud dan al-Nasai)
d. Hukum menteror
Islam adalah
agama penuh rahmat yang bertugas menyebarkan kedamaian dan melarang perbuatan
apapun yang membuat orang resah dan takut. Rasulullah ﷺ bersabda:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده. (رواه البخاري ومسلم)
Artinya:
Seorang muslim adalah seseorang
yang muslim lainnya selamat dari lisan dan tangannya. (riwayat al-Bukhariy dan Muslim)
Jangankan menganianya dengan perbuatan yang
nyata, sekedar menakut-nakutipun sudah dilarang oleh islam, Rasulullah ﷺ bersabda:
لا يحل لمسلم أن يروع مسلما.(رواه أحمد وأبو داود)
Artinya:
Tidak halal bagi seorang muslim
menakuti-nakuti muslim yang lainnya. (riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
Dalam hadits ini
terdapat lafadz yang menunjukkan larangan dan keharaman menteror atau
menakut-nakuti yaitu lafadz لَايحِلُّ (tidak halal)
sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu al-Qayyim[33]
–rahimahullah- bahwasanya ada beberapa lafadz meskipun tidak sharih namun
menunjukkan keharaman sesuatu, diantara lafadz tersebut ialah tidak dihalakan
bagi kalian, tidak baik bagi kalian atau tidak selayaknya dan lain sebagainya.
Maka teror dalam islam dihukumi terlarang dan haram, meskipun yang demikian itu
dilakukan atas dasar bercanda atau sekedar main-main belaka[34].
e. Hukum memberontak pemerintahan kaum
muslimin
Lain halnya
dengan aqidah khawarij yang suka merongrong dan memberontak pemerintah, islam
memerintahkan taat dan patuh kepada pemimpin. Allah ﷻ berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا (59)
Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah RasulNya, dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu
berselisih pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al
Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (al-Nisa':59)
Ayat ini menjelaskan tentang wajibnya taat
kepada Allah, taat kepada RasulNya dan taat kepada pemimpinnya. Ketaatan kita
kepada pemimpin setelah Allah dan rasulNya ini merupakan kunci kebahagiaan
dunia dan akhirat.
Terdapat sebuah ungkapan indah yang dinukil
oleh al-Qurtubiy –rahimahullah- dalam tafsir ayat yang mulia ini;
لا يزال الناس بخير ما عظموا السلطان والعلماء، فإذا عظموا هذين أصلح الله دنياهم وأخراهم، وإذا استخفوا بهذين أفسد دنياهم وأخراهم.
Artinya:
"Manusia akan tetap dalam
keadaan yang baik selama mereka mengagungkan pemimpin dan ulama, jika mereka
memuliakan yang dua ini maka Allah perbaiki urusan dunia dan akhirat mereka.
Dan jika mereka meremehkan yang dua ini maka Allah akan rusak perkara dunia dan
akhirat mereka[35]"
Didalam wasiat perpisahan Rasulullah ﷺ bersabda:
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد. (رواه أبو داود والترمذي)
Artinya:
Aku wasiatkan kepada kalian untuk selalu
patuh dan taat meskipun pemimpin kalian adalah seorang budak. (riwayat Abu Dawud dan al-Tirmidziy)
Dari pentingnya
menjaga keutuhan jama'ah, Rasulullah ﷺ memerintah kita agar tetap ta'at kepada pemimpin apapun
keadaannya selama masih dalam lingkup muslim. Inilah aqidah ahlusunnah
waljama'ah dalam membangun kebersamaan dalam sebuah bangsa, dan aqidah taat
kepada pemimpin ini selalu diwariskan oleh ulama dari zaman kezaman.
Imam al-Barbahariy
berkata: "Ketahuilah bahwa islam adalah sunnah, dan sunnah adalah islam,
tidak akan tegak salah satunya itu kecuali dengan keduanya. Maka memegang teguh
kesatuan jama'ah dibawah kepemimpinan merupakan dari bagian sunnah"[36]
Rasulullah ﷺ bersabda:
من حمل علينا السلاح فليس منا. (رواه البخاري ومسلم)
Artinya:
Siapa saja yang membawa pedang kepada kami
(memberontak) maka bukan dari golongan kami. (riwayat al-Bukhariy dan Muslim)
Dalam hadits dari
Junadah bin Abi Umayyah berkata: aku masuk ketempat Ubadah bin Shamit dan dia
dalam keadaan sakit, kami berkata: bacakanlah kepada kami sebuah hadits yang
engkau dengar dari Rasulullah ﷺ, maka dia berkata: Rasulullah
mengajak kami untuk berbaiat maka kamipun membai'atNya, diantara isi bai'at itu
adalah selalu mendengar dan taat dalam keadaan semangat dan terpaksa, keadaan
sulit dan kemudahan. Dan tidak boleh merampas perkara dari pemiliknya
(kekuasaan/kepemimpinan) kecuali kalian melihat kekufuran yang nyata pada diri
pemimpin itu. (riwayat Muslim).
Dari sini kita akan simpulkan bahwa
memberontak menentang pemerintah adalah terlarang dalam agama islam, Imam
Nawawiy menjelaskan makna hadits bahwasanya tidak boleh menyelisihi pemerintah,
menentang dan memberontak. Beliau menegaskan dengan perkataan beliau:
وأما الخروج عليهم وقتالهم فحرام بإجماع المسلمين، وإن كانوا فسقة ظالمين
Artinya:
"adapun memberontak kepada
mereka (pemimpin) dan memeranginya maka hukumnya haram secara ijma', meskipun
mereka fasiq dan dzalim[37]".
Kesimpulan
Dari apa yang
telah dipaparkan dalam pembahasan ini maka bom bunuh diri yang mengatasnamakan
jihad khususnya dinegeri kita tak lain hanyalah pembunuhan jiwa tanpa hak yang
menimbulkan banyak kerusakan diberbagai sendi kehidupan. Dan dalil-dalilpun
sangat jelas akan terlarangnya hal tersebut.
Wa Shallallahu 'ala Nabiyyina Muhammadin wa 'ala
alihi wa shahbihi ajma'in Walhamdulillahi Rabbil 'Alamin.
Allahu Ta'ala A'lam.
قَالَ رَبِّ بِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأُزَيِّنَنَّ لَهُمْ فِي
الْأَرْضِ وَلَأُغْوِيَنَّهُمْ أَجْمَعِينَ (39)
Artinya:
iblis berkata: "Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa
aku sesat, pasti aku akan menghiasi bagi mereka (menjadikan mereka memandang
baik perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya. (Al-Hijr:39)
[2] Ismail bin Hammad al-Jauhariy wafat tahun 393 H - 1003 M, Ash-Shihah
taju al-lughati wa shihah al-arabiyah, Jilid lima (Beirut: Dar al-ilmi li
al-malayin, 1407 H – 1987 M), hal. 1901.
[3] Abu al-Hasan
Ahmad bin Faris bin Zakariya al-Qazwain wafat tahun 395 H – 1005 M, Mu'jam
maqayis al-lughah, jilid dua (Beirut: Dar al-Fikri, 1399 H - 1979 M), hal.
91.
[4] Ahmad bin Muhammad bin Ali al-Muqri al-Fayumiy wafat tahun 770 H – 1368 M, Al-Misbah
al-munir fi gharib al-hadits al-kabir, (Beirut: Maktabah lubnan, 1407 H -
1987 M) hal. 57.
[5] Al-Hafidz Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyiy al-Dimasyqiy
wafat tahun 774 H – 1372 M, Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim, Jilid dua, Juz
dua (Riyadh: Dar al-thayibah, 1430 H – 2009 M) hal. 120.
[6] Majdu al-din Abu as-Sa'adat al-Mubarak bin Muhammad al-Jazariy bin al-Atsir
wafat tahun 606 H – 1209 M, An-nihayah fi gharib al-hadits wa al-atsar,
Jilid pertama (Beirut: Al-maktabah al-ilmiyah, 1399 H - 1979 M) hal. 1033.
[7] Al-Hafidz Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyiy al-Dimasyqiy
wafat tahun 774 H – 1372 M, Tafsir Al-Qur'an Al-Adzim, Jilid ketiga Juz
kelima (Riyadh: Dar al-thayibah, 1430 H – 2009 M) hal. 216.
[8] Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukaniy wafat tahun 1250 H – 1830 M, Fathu
al-qadir al-jami' baina fannai al-riwayah wa al-dirayah min ilmi al-tafsir, Juz
ketiga (Riyadh: Maktabah al-rusydi, cetakan keenam 1430 H – 2009 M) hal. 10.
[9] Hukum syar'i jika dilihat dari tekstualnya terbagi menjadi dua: 1.
Taklifiy: tek syari yang mengandung perintah atau larangan sesuatu. seperti
wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. 2. Wad'iy: tek syar'i yang berisi
sebab, syarat atau penghalang hukum tersebut.
Lihat: Abdullah bin Shalih al-Fauzan, Syarhu
al-waraqat fi usul al-fiqhi (Riyadh: Dar al-muslim, cetakan kedua 1423 H –
2003 M) hal. 30.
[10] Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazaliy wafat 505 H – 1111 M, al-Mustasfa
fi ilmi al-usul, Jilid pertama (Beirut: Muassasah al-risalah 1417 H – 1997
M) hal. 112.
[11] Ali bin
Muhammad al-Amidiy wafat 631 H – 1233 M, al-Ihkam, Jilid pertama
(Beirut: Dar al-kitab al-'arabiy 1404 H – 1983 M) Hal. 135.
[12] al-Imam al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalaniy wafat 852 H – 1448
M, Fathu al-bariy bi syarhi shahih al-Bukhariy, Jilid ketiga belas (Kairo: Dar
al-hadits 1424 H – 2004 M) hal. 130.
[13] Sulaiman bin Abdi al-Qawiy bin al-Karim al-Thufiy wafat 716 H – 1316 M, Syarhu
mukhtashar al-raudhah, Jilid pertama (Beirut: Muassasah al-risalah 1407 H –
1987 M) hal. 250.
[14] Lihat selengkapnya: Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin 'Utsaimin wafat
tahun 1421 H – 2000 M, Syarhu al-usul min ilmi al-usul, (Kairo: Dar
al-aqidah, cetakan pertama 1425 H – 2004 M) hal. 25.
[15] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia
(JAKARTA: 2008 M) hal. 214.
[17] Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia
(JAKARTA: 2008 M) hal. 239.
[19] Imam Ahmad bin Hanbal bin Hilal bin Asad al-Syaibaniy, Musnad al-Imam
Ahmad bin Hanbal, Jilid ketiga (Beirut: Muassasah al-risalah 1420 H – 1999
M) hal. 500.
[20] Muhammad bin Abdi al-Karim bin Abi Bakr Ahmad al-Syahrastaniy wafat tahun
548 H – 1153 M, al-Milal wa al-Nihal, Jilid pertama (Beirut: Dar
al-ma'rifah 1404 H – 1983 M) hal.113.
[21] - Al-Hafidz Abu al-Fida Ismail bin Umar bin Katsir al-Qurasyiy
al-Dimasyqiy wafat tahun 774 H – 1372 M, al-Nihayah wa al-Nihayah, (Beirut: Bait al-afkar al-dauliyah 1425 H -
2004 M) hal. 1112.
- Abu
Ihsan al-Atsariy, al-Bidayah wa al-Nihayah Masa Khulafa'ur Rasyidin (Jakarta:
Darul Haq 2004 M) hal. 391.
[22] Abdurrahman
Ayyub, Menjawab tuduhan tabyun untuk meluruskan pandang (Jakarta: Daulat
press 2015 M) hal. 92.
[23]
al-Syahrastaniy, al-Milal wa al-Nihal, hal. 145.
[24]
Farid Ahmad Okbah, MA, Ahlussunnah Waljamaah dan Dilema Syi'ah di Indonesia
(Jakarta: Perisai Qur'an 2012) hal. 37.
[25] Al-Hafidz Abu
Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman al-Dzahabiy wafat tahun 748 H – 1347 M.
[26] Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin 'Utsaimin wafat tahun 1421 H – 2000 M, Syarhu
al-Kabair (Kairo: Dar al-ghad
al-jadid 1329 H -2008 M) hal. 17.
[27] Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakr al-Qurtubiy wafat tahun 671 H – 1272 M,
al-Jami' li ahkam Al-Qur'an wa al-mubayyin lima tadhammanahu min al-sunnah
wa ayi Al-Qur'an, Jilid keenam (Beirut: Muassasah al-risalah, cetakan
pertama 1427 H - 2006) hal. 259.
[29] Muhammad Ali al-Sayis wafat tahun 1396 H – 1976 M, Tafsir ayat al-ahkam,
Jilid satu (Kairo: al-Maktabah al-'asriyah 1422 H - 2002 M) hal. 273.
[30] Muhammad Nasiruddin al-Albaniy wafat tahun 1420 H – 1999 M, Shahih
al-targhib wa al-tarhib, Jilid kedua (Riyadh: Maktabah al-ma'arif, cetakan
kelima) hal. 320
[33] Muhammad bin Abi Bakr bin Ayyub al-Zar'iy Ibnu al-Qayyim, Badai'
al-fawaid, Jilid keempat (Kairo: Maktabah nazzar al-baz 1416 H – 1996 M)
hal. 810.
[34] Muhammad Syamsu al-Haq al-'Adzim Abadiy, 'Aun al-ma'bud syarhi sunan
Abi Dawud, (Beirut: Dar ibnu Hazm 1426 H – 2005 M) hal. 2289.
[35] al-Qurtubiy, al-Jami' li ahkam Al-Qur'an ... Jilid keenam hal. 432.
[36] Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Khalaf al-Barbahariy wafat tahun 329 H –
940 M, Syarhu al-sunnah (Riyadh: Dar al-shami'iy, cetakan keenam 1426 H – 2005
M) hal. 59.
[37] Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawiy, al-Minhaj syarhu
shahi muslim bin al-hajjaj, Jilid 12 (Beirut: Dar ihya' al-turats
al-'arabiy, cetakan kedua 1392 H – 1972 M) hal. 229.
0 komentar:
Posting Komentar